Apa Kabar Hujan

Ah~~ sudah lama sekali tidak mengobok-ngobok blog yang satu ini. Apa kabar hujan?

Bulan ke delapan setelah Rain Affair terbit, akhirnya saya mulai mendapat satu per satu kiriman surat yang berisi informasi resmi mengenai masalah cetak ulang dari buku ke-dua saya ini. Plus, saya juga mendapat kiriman buku lepas yang memang sudah ada dalam perjanjian, bahwa setiap cetak ulang, kita akan mendapat cetakan lepasnya (lagi).

Kebetulan memang stok terakhir habis.

Sejauh ini, tanggapan pro dan kontra memang banyak yang masuk. Tapi, saya sangat sangat berterima kasih karena masih banyak yang mendukung Rain Affair. Ada beberapa orang yang meng-add messanger saya dan bertanya-tanya di sana atau sekedar memberikan dukungan mereka dalam bentuk kata-kata. Juga melalui twitter @kura_jjang, juga ada beberapa yang menjadi penyemangat saya untuk bisa terus berkarya. Tapi, tak sedikit juga yang kontra dengan saya. Apa pun itu, saya tetap merasa senang. Setidaknya banyak juga yang perhatian pada Rain Affair.

Hmmm..., it's almost a year, isn't it?
Semoga Rain Affair tidak luntur hanya karena waktu.
Rain Affair mani mani saranghajuseyo ^^;
Gumawo yo *bow*

-please give Rain Affair a lot of love, thank's-

Ah iya, saya lupa. Pada akhirnya saya memutuskan untuk mengganti alamat blog ini menjadi claracanceriana.blogspot.com semoga tidak merepotkan dan teman-teman tetap bisa menikmati isi blog ini yang mungkin jarang saya update, maaf.

Pro Resensi di RRI

Hari Minggu tanggal 25 Juli 2010, saya mendapat kesempatan untuk hadir dalam acara pro resensi yang diadakan oleh Radio Republik Indonesia yang terletak di dekat Monas, Jalan Merdeka. Tentu saja tak lain dan tak bukan adalah untuk mengupas isi Rain Affair.

Dikarenakan rumah yang jauh, saya pun berangkat pukul dua siang. Tiba di RRI pukul setengah empat kurang sedikit. Ketika saya masuk ke studio pro 2, ternyata masih ada seorang penulis lain yang juga sedang melakukan interview. Sekitar lima belas menit saya harus menunggu giliran. Hingga akhirnya sesi pembicaraan dengan penulis itu berakhir, saya pun dipanggil masuk ke ruang siaran. Uh, berasa banget deg-degannya. Jujur saja, saya bukan orang yang pandai bicara. Apalagi kalau sudah menyangkut on air dan nyaris tanpa script. Wahhh..., malunya bukan kepalang. Groginya pun mencapai ubun-ubun. Meski bukan pengalaman pertama wawancara di sebuah radio, tapi ini merupakan pengalaman pertama siaran di sebuah radio tertua di Indonesia (iya, kan?). Dan, buat saya yang terbiasa mengumpat di balik layar, wawancara sudah menjadi momok menakutkan tersendiri.

Sesi dibuka oleh sang penyiar yang menceritakan sedikit tentang isi Rain Affair. Saya sampe terkejut juga, ternyata penyiarnya cukup fasif dengan kisah Lea dan kawan-kawannya. Dia hafal dengan karakter-karakter yang ada. Bahkan saya (yang saking groginya nggak nahan) tiba-tiba lupa dengan dua karakter dalam Rain Affair -_____________________-" #payahmodeon.
Harap maklum ya sodara-sodara. Saya juga penulis amatiran yang punya otak dengan kapasitas memori masih rendah.

Sesi berikutnya pun masih diisi dengan tanya jawab. Penyiar bertanya saya jawab. Nggak lebih. Soalnya saya ini semacam orang yang pasif, jadi kalau nggak ditanya ya nggak jawab. Diantara sesi-sesi yang ada, diselipkan juga sebuah kuis yang pertanyaannya sangat mudah dijawab. Apakah benda yang ada di cover depan buku Rain Affair? Hakaka, pasti tau lah ya. Kalau yang sudah lihat bukunya, kalau yang belum mungkin nggak akan tau juga. Dan, semua sesi itu harus diakhiri dengan pertanyaan bagaimana caranya untuk bisa menjadi penulis.

Yang jelas, saya sangat bersyukur bisa mendapat kesempatan semacam ini.
Kesempatan untuk bisa lebih memperkaya pengalaman sekaligus memperkenalkan Lea, Noah dan Nathan kepada masyarakat banyak. Meski sampai sekarang, kalau saya pikir-pikir, saya merasa aneh dengan jawaban saya sewaktu diwawancara ahakakaka~

Oh ya, saya juga mendapat pertanyaan seperti ini: Siapa tokoh yang paling kamu suka dalam Rain Affair. Sudah pasti saya jawab, Nathan! Ahakakakaka~ Nah, kalau kamu? Suka dengan tokoh siapa? Dan apa alasannya?

Marcelinus Nathanael

Biasa dipanggil Nathan. Seorang interior designer yang pembawaannya kalem dan cenderung tertutup untuk masalah pribadi. Kalau menurut saya, Nathan itu cowok yang mampu membawakan dirinya dengan tepat. Di saat dia harus bicara, maka dia akan bicara. Sebaliknya, jika harus tutup mulut, dia pun akan diam. Nathan bukan penggila kerja atau workaholic, tapi dia sangat bertanggung jawab. Dan, dia memiliki karakter yang sabar serta pandai mengendalikan emosinya.

Satu hal yang membuat saya tertarik dengan si kidal ini adalah karisma yang muncul saat dia bekerja dan makan.

Dari banyak komentar yang sudah masuk, semua mengungkapkan kesukaannya pada karakter yang satu ini. Termasuk saya sendiri. Sampai ada yang pernah tanya (kalau tak salah Nuy) melalui e-mail, apakah karakter Nathan terinspirasi dari seseorang? Hmm..., saya rasa tidak. Sepenuhnya saya menggunakan imajinasi saya sendiri untuk membentuk karakter yang paling saya suka ini. Atau katakanlah, sebuah ambisi kecil yang saya masukkan ke dalam sosok Nathan.

Ayooo, ada yang mau titip salam buat Nathan? ahakakaka~

Christian Noah

Ada yang kasihan, tapi juga tak sedikit yang menghujat karakter yang satu ini. Kebohongannya yang membawa luka pada Lea, membuat tak jarang orang mencibir ke arahnya. Jika mengamatinya dari satu sisi saja, memang rasanya kok jahat sekali, nggak adil buat Lea, dsb-nya. Tetapi, kita tentu tahu bahwa terkadang keadaan yang mendesak turut ambil bagian dari sebuah sikap yang kita putuskan. Begitu juga dengan Noah. Dengan sebuah keadaan yang menghimpitnya, membuat Noah memilih untuk mendapat predikat pembohong atau cowok jahat. Ketika semua orang tahu dengan situasi Noah, tak jarang yang juga bersimpati padanya. Kasihan, karena harus memilih jalan 'sesat' dan turut mendapat pahit yang tak pernah terbayang sebelumnya.

Dan, ketika saya mencoba mencerna lebih jauh soal Noah, saya menyadari sesuatu.
Noah pun sebenarnya tak ingin semua kebohongan itu terjadi.

Noah di mata saya adalah sosok yang temperamental. Bukan, sebenarnya dulu dia nggak begitu. Dulu, dia adalah orang yang sangat sabar. Tapi, semua pasti berubah. Lagi-lagi keadaan yang harus dijadikan kambing hitam. Namun, di balik emosinya yang naik turun, Noah adalah cowok yang dewasa dan sangat ngemong. Noah itu dewasa dan tipikal pekerja keras.

Gabrillea Denovan

Ada beberapa komentar yang masuk yang mengatakan kalau Lea adalah salah satu karakter yang "bodoh" dalam artian, sudah tau Noah nggak cinta sama dia, tapi tetap saja bertahan untuk satu alasan yang bisa ditemukan ketika dia merangkak keluar dari comfort zone-nya bersama Noah. Tapi, saya juga nggak mengerti dengan jalan pikiran Lea. Yah, saya pun sama dengan kebanyakan orang, yang pasti akan menyuruh Lea putus dengan Noah kalau saja saya berada di sekitarnya. Sayangnya, saya belum pernah merasakan apa yang dirasakan Lea--bahwa cinta itu membutakan segalanya.

Lea di mata saya adalah sosok yang seperti hmmm..., apa ya. Tampak tangguh, namun rapuh. Ya, perempuan yang cukup bodoh karena terjebak dalam labirin buatannya sendiri. Namun, sosok yang pemaaf meski cengeng. Dan, sebenernya hatinya adalah hati yang penyayang dan tulus.

Yang jelas, saya iri dengan Lea.

"Rain Affair" Cetak Ulang

Pagi itu (Senin, Juni 14), seperti biasa saya pergi ke kantor. Jam 8 lewat dikit udah stand by di depan komputer, tivi dan sebuah alat yang saya nggak tau namanya, tapi untuk memutar kaset. Mulailah saya bekerja. Pas lagi asik-asiknya mereview sebuah acara, tiba-tiba ponsel saya bergetar (sengaja silent mode on soalnya saya nggak enak kalo lagu oh cabi cabi..., the hottest hottest -nya 2PM dan SNSD heboh berdering di ruangan yang tenang). Ijin angkat telepon dan suara di ujung sana langsung saya kenal. Suaranya Christian Simamora. Saya pikir ada apa nih pagi-pagi mendung gitu nelpon saya. Tapi, baru aja penjelasan itu mau keluar, signal eror.

Telepon pun terputus. *betemodeon*

Saya buru-buru keluar ruangan dan cari lokasi dimana bisa mendapat signal yang cukup baik. Nggak lama telepon saya bergetar lagi. Karena udah pindah lokasi, otomatis signal menjadi lebih baik. Di sana Ka Ino memberitahu kalau Rain Affair mau cetak ulang dan saya disuruh revisi beberapa (oke, tepatnya agak banyak) kesalahan yang ada dalam novel yang sudah cetak.

Lantaran lagi ada di kantor dan ada kerjaan, nggak mungkin dong saya bisa kerjakan saat itu juga. Alhasil baru malamnya setelah tiba di rumah, saya bisa merevisi beberapa kesalahan yang ada. Meski udah malem dan capek, tapi saya tetep semangat (oke, beberapa kali kepala saya melanggut sewaktu baca -__-") membacanya. Dan..., iya, seperti yang pernah dikatakan oleh beberapa teman saya bahwa ada beberapa hal yang membuat mereka bingung dengan settingannya.

Melalui blog ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya (kayak lagi pidato, si Clara) buat teman-teman yang sudah mendukung Rain Affair dan menerima segala kekurangannya. Saya juga sangat berterimakasih pada tim dari Gagas Media yang bersedia mencetak ulang novel saya yang masih jauh dari sempurna ini. Semoga di cetakan berikutnya, kesalahan yang ada sudah lebih berkurang sehingga tidak akan mengganggu kenikmatan saat menelusuri kisah Lea, Noah dan Nathan.

*bow*

Idenya Dari...?

Ide awal Rain Affair sebenarnya cukup simple. Pas lagi nunggu temen di mal, saya mampir ke toko buku dan, ting, satu baris kata itu lewat tanpa saya persilahkan (semacam penampakan, mungkin). Yaitu, seorang cowok yang berusaha menyampaikan perasaannya melalui hasil karya design-nya (dalam hal ini saya mengambil Interior). Tapi, seiring berjalannya waktu, muncul ide-ide lain yang bertambah hingga akhirnya ceritanya justru bergeser. Penambahan tokoh, juga membuat cerita ini lebih penuh intrik (halah, kebanyakan nonton drama, nih).

Saya juga sempat melakukan extention ide dengan ide yang lama.

Dulu, saya terobsesi sekali bikin cerita dari judul Azalea. Saya suka nama bunga itu. Apalagi Boa, penyanyi kesukaan saya, juga memiliki lagu dengan judul yang sama. Alhasil, masuklah si Azalea ini menjadi salah satu pemanis di kisah Noah, Lea dan Nathan ini. Dan, itulah justru yang menjadi judul awal dari Rain Affair (tapi ditolak dengan alasan ga menjual T_____T).

Kalau ada yang bertanya apa ini pengalaman pribadi, hmmm…, I would say a BIG NO! Semua kisah murni khayalan saja (atau mungkin ambisi? Ahakaka). Meskipun begitu, ternyata salah satu komentator sewaktu naskah Rain Affair masih sangat sangat kasar, Patricia Herdita, mengatakan kalau permasalahan dalam novel ini adalah hal yang sangat akrab dengannya. Dengan kata lain, ada seorang temannya yang mengalami hal yang sama. Dan, mungkin puluhan perempuan lain di seluruh dunia. Yah…, kesamaan konflik tidak disengaja sama sekali karena saya sendiri bukan orang yang expert dalam hal, err…, hubungan. Pengalaman saya mengenai hal-hal berbau romance, cinta, dan tetek bengeknya, cuma secuil (loh, jadi curhat?)

Cerita ini, murni, fiksi belaka. Buat saya. Hihihi….